25 November 2009

PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONTEKSTUAL

PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONTEKSTUAL

1. Teori Pembelajaran Matematika Kontekstual
Ada beberapa paham yang menjadi acuan pembelajaran Matematika yang kontekstual :
- 1.1 Slavin (1997 : 269)
Siswa harus aktif menemukan dan mentransfer pengetahuan yang akan menjadi miliknya. Peran guru dalam mengajar sebagai mediator dan fasilitator.
- 1.2 Suparno (2001 : 10-11)
Peran fasilitator guru dijabarkan dalam beberapa tugas yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, merangsang keingintahuan, mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
- 1.3 Ausubel (dalam Dahar. 1988 : 110-112)
Belajar dikategorikan dalam 2 dimensi yaitu berhubungan dengan cara pengetahuan kepada siswa dan cara mengkaitkan pengetahuan baru pada pengetahuan relevan yang telah terdapat dalam struktur kognitif siswa.

- 1.4 Suryanto (200 : 2)
Pembelajaran Matematika harus dikaitkan dengan realitas kehidupan dekat dengan alam pikiran siswa dan relevan dengan masyarakat agar mempunyai nilai manusiawi.

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri :
1. Pendidikan menekankan pada proses belajar daripada mengajar.
2. Pendidikan diorganisasikan dalam suatu struktur yang fleksibel.
3. Peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri.
4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

2. Hakekat Pembelajaran kontekstual

Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

3. Komponen Pembelajaran Kontekstual

1. Konstruktivisme (Constructivism)

Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasinya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:

a. menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,

b. memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,

c. menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimanakah penerapannya di kelas? Bagaimana cara merealisasikannya pada kelas-kelas di sekolah?

Pada umumnya, di lapangan sudah banyak menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yakni ketika merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, menulis karangan, mendemonstrasikan, dan sebaginya.

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kgiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan ketermpilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Kata kunci dari strategi inkuiri adalah ‘siswa menemukan sendiri’.

Siklus inkuiri:

 Observasi (observation)

 Bertanya (Questioning)

 Mangajukan dugaan (Hiphotesis)

 Pengumpulan data (Data gathering)

 Penyimpulan (Conclussion)

Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri):

 Merumuskan masalah

 Mengamati atau melakukan observasi

 Menganalisis dan menyajikan hasil karya dalam tulisan, gambar, laporan,

bagan, tabel dan karya lainnya

 Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman

sekelas, guru atau audien yang lain

3. Bertanya (Questioning)

Questioning (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu.

Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang cepat mendorong temannya yang lambat, dan sebaggainya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ‘ahli’ ke kelas.

‘Masyarakat belajar’ bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.

5. Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu guru memberi contoh ‘bagaimana cara belajar’.

Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya cara mengoperasikan sesuatu. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagi model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’ komptensi yang harus dicapainya.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimilki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengtahuan yang baru. Dengan demikian siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang abru dipelajarinya.

Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa:

 pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya.

 catatan atau jurnal di buku siswa

 kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu

 diskusi

 hasil karya

7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir periode (cawu/semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (EBTA/EBTANAS), tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.

Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah “Apakah siswa belajar?”, bukan “Apa yang sudah diketahui siswa?” Jadi siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu dari hasil ujian tulis.


4. Karakteristik Pembelajaran Matematika Kontekstual

Ciri khas pembelajaran Matematika yang kontekstual :

1. Diajukannya masalah kontekstual untuk dipecahkan atau diselesaikan oleh siswa sejak awal proses pembelajaran.

2. Dikembangkannya cara, alat atau model matematis (misalnya : gambar, grafik, tabel, model benda tertentu) untuk memperoleh jawaban informal dari masalah. Jawaban informal siswa diistilahkan sebagai matematika informal. Cara, alat atau model itu berfungsi sebagai jembatan antara matematisasi horizontal. Proses matematisasi horizontal adalah proses diperolehnya matematika informal oleh siswa.

3. Terjadi interaksi antara guru dan siswa atau antara siswa dan siswa atau antara siswa-pakar dalam suasana demokratif berkenaan dengan penyelesaian masalah yang diajukan selama proses belajar.

4. Ada keseimbangan antara terjadinya proses matematisasi horizontal atau diperolehnya matematika informal oleh siswa dan proses matematika vertical atau proses pembahasan matematika formal (secara simbolik dan abstrak) yang dimotori oleh guru atau orang lain (dapat salah satu siswa) yang dipandang pakar. Ini berarti ada kesempatan yang cukup bagi siswa untuk menemukan, menyelidiki atau memecahkan persoalan dalam rangka mencari jawaban persoalan sebelum sampai pada tahap pembahasan matematika formal.

5. Ada kesempatan yang cukup bagi siswa untuk merefleksi, menginterprestasi dan menginternalisasi hal-hal yang telah dipelajari atau dihasilkan oleh siswa selama proses belajar.

6. Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya mementingkan langkah-langkah prosedural penyelesaian soal namun juga memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.

5. Pendekatan Pembelajaran yang Relevan

Dengan pendekatan kontekstual siswa diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan matematisasi horizontal yang akan mengantarkan dan menjadi pijakan dalam mempelajari matematika formal. Matematika formal yang dipelajari bukan dalam bentuk “jadi” namun setahap demi setahap dan interaktif sehingga terjadi proses matematisasi vertikal.
Siswa diberitahu soal atau masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata atau guru mengajak siswa untuk mengamati suatu fenomena yang sesuai dengan alam pikirannya. Misalnya pada saat belajar tentang menghitung luas bangun gabungan. Sejak awal pembelajaran secara kelompok siswa diminta menghitung luas suatu gambar pada majalah bekas yang kebetulan berbentuk gabungan dari bangun persegi dan persegipanjang atau segitiga (gambar bangun yang akan dihitung luasnya pada tiap kelompok tidak harus sama). Siswa untuk beberapa waktu dibiarkan menggunakan caranya sendiri dalam menghitung luas gambar itu. Guru mendampingi siswa dam mendorong mereka agar menemukan penyelesaian yang relevan dan memuat materi matematika atau yang mendekatinya (matematika informal) sehingga siswa dapat menghitung luas dari gambar yang dihadapinya dengan caranya sendiri.

Selanjutnya dengan memperhatikan hasil penyelesaian masalah berikut langkah yang telah ditempuh oleh masing-masing siswa (yang mungkin berbeda-beda). Guru membimbing dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berpendapat (secara individual atau secara kelompok) agar mereka meningkatkan taraf pemahamannya terhadap materi matematika yang telah diperoleh sehingga pada alkhirnya siswa memperoleh pengetahuan tentang cara menghitung luas berbentuk bangun gabungan yang matematis dan formal.

Pembelajaran matematika yang kontekstual menghendaki terjadinya proses pemecahan masalah oleh siswa dengan guru sebagai fasilitator. Guru diharapkan memberikan umpan, pancingan, tangga sebagai jembatan agar siswa dapat menemukan jalan pemecahan yang diharapkan.

Bila usaha optimal siswa belum dapat memecahkan masalah dapat dibantu dengan mengkombinasikan kegiatan siswa dalam bentuk kegiatan belajar individu, berpasangan dan berkelompok. Dalam interaksi dengan teman diharapkan teman yang mempunyai kemampuan “lebih” dapat mentransfer pengetahuan yang positif. Hal ini diterapkan melalui belajar secara kooperatif. Belajar kooperatif dapat meningkatkan kemampuan bekerjasama dalam kegiatan transfer ilmu antar siswa. saanya.

6. Penilaian Pembelajaran Kontekstual

Dalam pengelolaan suatu pembelajaran diperlukan suatu penilaian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan dari kegiatan pembelajaran telah dicapai. Untuk itu diterapkan penilaian yang menyoroti dua hal, yaitu penilaian terhadap hal-hal yang terkait dengan proses belajar dan penilaian pada hasil akhir belajar yang kemudian sering diistilahkan dengan penilaian proses dan penilaian hasil.
Penilaian pembelajaran yang disarankan pada pembelajaran matematika yang kontekstual, antara lain :
• Penilaian Kinerja
Penilaian ini dapat dilakukan dengan menguji siswa secara tertulis, lisan, praktek, atau presentasi. Siswa dituntut mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu.
• Pengamatan yang Sistematis
Dengan melakukan pengamatan yang sistematis terhadap kemampuan siswa diperoleh data untuk merefleksikan dan menginterprestasikan dampak dari aktivitas pembelajaran terhadap siswa. Selanjutnya dapat dipilih dan dilakukan usaha yang tepat dan terarah untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik untuk siswa yang bermasalah maupun siswa yang unggul.
• Portofolio
Penilaian ini memberi kesempatan kepada siswa untuk menilai sendiri kemajuan belajarnya melalui koleksi penyelesaian tugas-tugas, hasil ulangan, ide, hasil karya dan lain-lain yang terus disempurnakan dalam jangka waktu tertentu.
• Jurnal
Penilaian dengan cara ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mengorganisasikan cara berfikirnya, minat atau pengalamannya yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar, dan lain-lain.

7. Rancangan Kegiatan Pembelajaran Matematika yang Kontekstual

Rancangan pembelajaran matematika yang kontekstual atau realistik langkah-langkahnya haruslah mencerminkan karakteristik dari pembelajaran matematika yang kontekstual atau realistic. Hadi S. (2000 : 4) mengatakan bahwa pembelajaran matematika yang kontekstual atau realistik meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

1. Pendahuluan

a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya (masalah kontekstual) sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran bermakna

b. Permasalahan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

2. Pengembangan.

a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.

b. Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi kesempatan, memahami, menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang diberikan kepada teman atau siswa lain.

3. Penutup
Merefleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

8. Pengembangan Strategi Melalui Pembelajaran Kontekstual

Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual, antara lain:

a. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

    1. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran

    1. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

    1. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

    1. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

    1. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

i. Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

ii. Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa.

iii. Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.

0 komentar:

Posting Komentar